Total Tayangan Halaman

Rabu, 26 Oktober 2011

Pasar Kuin The Floating Market

Menulis itu seni... membual!
Saya pernah membeli VCD (asli) produksi National Geographic, yang bertitel The Silk Road (Jalan Sutra). Sekadar informasi, Jalan Sutra adalah jalur perdagangan melalui Asia Selatan yang menghubungkan kota Chang'an (China) dengan kota-kota di Eropa abad pertengahan. Istilah Jalan Sutra sendiri baru digunakan pada abad ke-19 oleh  geografer berkebangsaan Jerman, Ferdinand von Richthofen karena komoditas utama dalam perdagangan tersebut adalah sutra. 
Ada yang mengejutkan saya ketika melihat video itu. Dari video itu saya mengetahui bahwa Marco Polo tak pernah menginjakkan kakinya di China. Belakangan, bukti yang menyatakan dia tidak pernah sampai ke China semakin kuat. Tapi mengapa dia bisa menulis buku Description of the World,  yang berisi kisah perjalanannya ke Asia dengan begitu rinci? Konon, buku itu dia buat berdasarkan cerita dari pedagang Persia yang dia jumpai di Laut Hitam. Jadi dia cuma membual? Ya, membual dengan seni.
Terlepas dari penilaian para pakar, saya mengagumi Marco Polo. Saya mengagumi karena hanya berdasarkan cerita orang lain saja dia bisa membuat buku yang sangat melegenda. Menurut saya, apa yang dilakukan Marco Polo itu luar biasa, perlu ditiru, minimal dicobalah. Alasan itu agaknya menjadi pembenaran terhadap tulisan saya ini. Saya akan membual tentang Pasar Kuin di Muara Kuin Banjarmasin. Mari kita mulai.
Dari kejauhan, saya melihat pendar-pendar cahaya, berkelap-kelip seperti kunang-kunang beterbangan. Semakin dekat, semakin jelaslah bahwa pendar-pendar cahaya itu berasal dari perahu-perahu kayu yang bertebaran di atas air. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. 
Fajar belum beranjak pagi. Semilir angin subuh masih terasa sejuk mengelus tubuh. Di dalam perahu-perahu itu, tampak wanita-wanita perkasa dengan dayung di tangannya mengayuh perahu hilir mudik dari tempat satu ke tempat lain menawarkan dagangan yang dibawanya. Suara riuh rendah mereka memecah kesunyian fajar hingga datangnya pagi.
 Itulah sekilas gambaran suasana di Pasar Kuin, sebuah pasar tradisional yang unik dan melegenda di kalangan orang Banjar. Begitu terkenalnya pasar ini hingga ada ungkapan, belum ke Banjarmasin kalau belum ke Pasar Kuin. Ya, berkunjung ke Banjarmasin serasa tidak lengkap jika tidak mengunjungi Pasar Kuin.
Pasar tradisional ini terletak di pertemuan antara Sungai Kuin dan Sungai Barito atau biasa disebut dengan Muara Kuin. Apa uniknya Pasar Kuin? Keunikan Pasar Kuin terletak pada aktivitas para penjual dan pembeli yang dilakukan di atas air. Penjual dan pembeli melakukan transaksi di atas perahu yang mengapung. Karena itulah pasar ini dinamakan Pasar Terapung. Di pasar ini, setiap perahu mengangkut muatan berbeda, mulai dari sayuran, makanan tradisional, buah-buahan hingga bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Ada pula perahu yang dirancang sebagai warung makan.
Sejak kapan rutinitas pasar ini mulai? Tidak ada catatan sejarah yang bisa menjelaskannya. Satu hal yang pasti kegiatan perekonomian di atas air ini sudah ada sejak zaman dahulu, bermula dari para pedagang dari sungai-sungai di Banjarmasin yang bertemu.
Orang datang ke pasar ini bukan semata-mata untuk berbelanja. Tidak sedikit dari mereka yang datang ke pasar ini sekadar ingin menikmati sarapan pagi di atas perahu atau berburu makanan tradisional khas Kalimantan Selatan. Tidak kalah menarik dari aktivitas pasar ini adalah masih berlakunya sistem transaksi bapanduk yaitu sistem jual beli dengan cara tukar menukar barang alias barter.
Sama halnya dengan pasar tradisional yang berada di darat, Pasar Terapung juga memiliki ketentuan dalam mengatur lokasi tempat berjualan. Ada lokasi untuk pedagang buah-buahan, ada lokasi yang diperuntukkan khusus untuk pedagang sayuran. Demikian pula dengan pedagang makanan, ada lokasi tersendiri untuk mereka.
Aktivitas perdagangan pasar terapung mencerminkan kebudayaan masyarakat Banjar. Bagi masyarakat Banjar, aliran sungai adalah kehidupan, tempat tinggal sekaligus tempat mencari penghidupan. Berdagang dan belanja di atas aliran sungai bukan semata upaya mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lebih dari itu, masyarakat Banjar memahaminya sebagai penyatuan diri dengan alam lingkungannya.
Di kalangan penggemar fotografi, Pasar Terapung Muara Kuin mempunyai makna tersendiri. Segala bentuk kegiatan di pasar ini menjadi obyek yang sangat menarik untuk diabadikan. Jika ingin menikmati sekaligus mengabadikan keunikan Pasar Terapung, sebaiknya Anda berangkat ketika hari masih fajar agar bisa lebih puas menyaksikan aktivitasnya. Waktu yang tepat, tiba di lokasi sekitar pukul 05.30 atau pukul 06.00 waktu setempat. Selain suasana sudah ramai kondisi pun sudah mulai benderang.
Hingga kini, Pasar Terapung tetap berlangsung dan terjaga dengan baik. Meski serbuan pasar-pasar modern begitu gencar, Pasar Kuin tetap tak tergantikan.
 



Senin, 24 Oktober 2011

Sekuel Kedua Perjalanan ke Mukomuko: Zona Pesisir yang Terlupa


Salat subuh usai sudah. Kami harus segera melanjutkan perjalanan. Kepala pening akibat perjalanan tadi malam -yang saya sembunyikan dari rekan-rekan perjalanan- berangsur-angsur mulai reda. Saya sudah siap! Let’s go!

Kali ini perjalanan mulai bisa dinikmati, setidaknya kanan kiri kami bukan lagi pemandangan serba hitam. Kebun-kebun sawit mulai terlihat. Di pinggir jalan, onggokan kelapa sawit telah menunggu untuk diangkut oleh para pengepul untuk selanjutnya dikirim ke pengolahan minyak sawit (nah baru tahu kan kalau di Bengkulu ada pabrik minyak sawit?).

<<Perkebunan kelapa sawit membentang di sepanjang jalan. Terus terang, pemandangan yang terlalu biasa bagi orang Bengkulu itu merupakan pemandangan baru yang luar biasa buat saya. Jadi jangan mengatakan saya ini katrok kalau mulai jepret sana jepret sini.

Sesekali kami melintasi jembatan di atas sungai yang bisa dibilang cukup lebar. Sungai-sungai lebar itu merupakan tengara bahwa kami tengah berada di zona pesisir. Semua sungai akan melebar ketika mendekati muara, begitu kata pakar geografi. Memang benar, tidak jauh di sebelah kiri kami, lautan tampak hijau (bukan biru) membentang menakjubkan. 

Sekali lagi saya disuguhi pemandangan yang luar biasa. Sudah bisa ditebak, saya jepret sana jepret sini (lagi). Kebetulan Pak Sopir cukup akomodatif (saya baru mencari istilah bahasa Indonesianya untuk kata ini). Ketika saya sedang beraksi dengan alat perekam gambar, beliau memperlambat laju kendaraan>>

Zona pesisir selalu menarik buat saya karena selalu menyuguhkan keunikan, baik bentang alamnya maupun bentang sosialnya. Kalau ada waktu, cermati pesisir Parangtritis dan Parangkusuma, lalu bandingkan. Meskipun letaknya berdekatan, tampak sekali perbedaan antara dua pesisir itu. Keduanya menyuguhkan keindahan dalam bentuk keunikan yang berbeda satu sama lain. Saya tidak hendak meromantis-romantiskan keadaan zona pesisir, namun kalau diperhatikan dengan saksama ada sesuatu yang benar-benar menarik, setidaknya itu menurut saya yang selama ini tinggal di pedalaman.
<<Ketika kendaraan melintasi jalan yang persis berbatasan dengan pantai, saya tidak bisa menahan diri lagi. Godaan atas nama rasa kagum begitu kuat memaksa saya turun dari mobil. Saya harus turun biar angle-nya (sudah seperti tukang foto profesional saja) kena. 


Pantai yang luar biasa. Karakteristik pantai di sini lain dengan pantai di Jawa. Kebanyakan pantai di Jawa tidak ada bebatuan besar seperti ini. Ini kesempatan langka bagi saya.  
Ya deh…ya deh! >>


Eh, ngomong-ngomong kita sudah sampai Mukomuko belum sih? Ini memang sudah masuk Kabupaten Mukomuko tetapi tujuan kita masih jauh. Setelah prosesi jeprat jepret selesai, kami pun melanjutkan perjalanan.

Di tengah perjalanan kami sempat terkejut melihat sebuah kendaraan dengan tulisan Bus Sekolah. Di tempat seperti ini ada bus sekolah? Setelah kami dekat dengan “bus” tersebut, baru kami tahu ternyata yang dimaksud “bus” itu sebuah truk yang baknya ditutup entah dengan seng atau apa sehingga menyerupai bus. Rupanya “bus” itu disediakan untuk anak-anak karyawan pabrik minyak kelapa sawit. Bagus juga tuh!.

Tidak lama lagi kami akan sampai ke tempat tujuan. Namun, tiba-tiba yang kami lalui berubah. Jalan yang tadinya beraspal, kini menjadi jalan berbatu dan berdebu. Debu yang tebal berhamburan ketika kendaraan kami melintasinya. Rupanya sedang ada perpindahan jalan. Lho kok aneh ada perpindahan jalan, pebaikan jalan kali? Memang benar, jalan yang lama sudah habis digerogoti ombak. “Jalan yang lama di sana tuh,” kata Pak Sopir menunjuk ke arah….. laut! Memang ombak di engkulu terkenal ganas. Abrasi telah memakan ruas-ruas jalan di Bengkulu. Nah, ini juga salah satu keunikan mintakat pesisir di suatu wilayah!

Akhirnya sampailah kami ke tempat yang kami tuju. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Ternyata terlambat setengah jam dari perkiraan. Tidak begitu buruk lah! Hal pertama yang ”diperintahkan” otak kami untuk segera dikerjakan begitu sampai di tempat itu adalah….makan! Segera kami mencari rumah makan. Tetapi apa lacur? Belum ada rumah makan yang siap. Apa boleh buat, kami masuki saja rumah makan yang belum siap itu, dengan sabar menunggu dan melakukan ”gencatan senjata” dengan perut yang sudah meronta. Baik juga untuk mendalami seni menahan diri. Haha.

Sembari menunggu, kami mengatur strategi (macam perang saja). Lho memang mau perang kan? Oke dech. Tapi tunggu, ada yang mendesak nich….. buru-buru saya lari ke kamar mandi.

Senin, 10 Oktober 2011

Sisa-Sisa Eksotisme Sepanjang Jalan Carikan-Serenan


Say goodbye to yesterday it’s the word I’ll never say…. (Madonna dalam This Used  To Be My Playground)
Memori masa lalu itu tiba-tiba menyapaku.
Dalam perjalanan dari Klaten ke Sukoharjo, kenangan itu mencuat. Kenangan masa lalu di sepanjang jalan Carikan-Serenan, memaksaku untuk melompat ke masa silam. 
Hamparan sawah membentang sepanjang sisi kanan kiri jalan. Pohon-pohon munggur di tepi jalan, menawarkan keteduhan bagi para pengguna jalan di siang itu.  Siang di tengah bulak itu memang sangat panas, Matahari sedang menikmati teriknya. Untunglah ada pohon-pohon munggur itu. 


<< Hamparan sawah membentang hingga cakrawala di sisi utara Jalan Carikan - Serenan, tepat di sebelah timur Desa Brumbung, terlihat begitu eksotis. Foto ini diambil tanggal 8 Oktober 2011. Lokasi timur Desa Brumbung.



Jalan yang membujur dari timur ke barat, membelah kawasan persawahan itu menghubungkan Sukoharjo dengan Klaten.  Jalan itu membentang cukup panjang, tak kurang dari 10 kilometer jika diukur dari paling timur (Waduk Mulur) hingga paling barat (Jembatan Serenan).  Tentu saja tidak semua badan jalan membelah kawasan persawahan. Jalan ini juga membelah pusat-pusat pelayanan publik, titik-titik konsentrasi aktivitas penduduk, dan permukiman. 


Penjual es dung-dung yang sekarang semakin sulit ditemui kebetulan melintas ketika saya jepret. dengan latar belakang hamparan persawahan hijau, menjadikan foto ini seperti merekam sebuah pemandangan eksotis. >>



Saat ini hamparan sawah itu mulai berkurang. Beberapa petak telah menjadi permukiman. Pohon-pohon munggur itu mulai berkurang. Alih-alih, pohon mahoni tumbuh di beberapa ruas jalan. Bagaimanapun, keteduhan yang diberikan pohon mahoni tidak seperti pohon munggur yang tetap hijau di musim kemarau.
Jalan panjang itu melintasi badan sungai yang meskipun kecil tapi cukup melegenda karena diselimuti kabut misteri. Saya akan menceritakan sungai ini dalam edisi tersendiri lain kali.  Sungai Ngrukem namanya.
Di sebelah barat sungai ngrukem (tidak sampai 200 meter) terdapat sebuah warung kecil (lidah orang Sukoharjo menyebutnya bango). Entah sejak tahun berapa bango itu ada, yang pasti sejak saya kecil hingga sekarang bentuknya nyaris  tak berubah, dinding gedheg (dinding yang terbuat dari anyaman bamboo), tempat duduk dingklik (bangku panjang untuk duduk), dan komoditas utamanya: es santen.
Warung yang disebut warung Ithut (disebut sesuai nama julukan pemiliknya) ini menyimpan kenangan tersendiri buat saya.  Dulu saya sering meluangkan waktu untuk pergi ke warung ini. Rumah saya sendiri berjarak sekira 1 kilometer dari warung itu. Biasanya saya pergi ke warung itu siang-siang dengan sepeda. Tujuan utama saya ke warung itu apalagi kalau bukan es santen. Wuah… benar-benar menyegarkan tenggorokan. Ah, betapa indahnya saat itu…
Dari warung Ithut hingga desa terdekat yang disebut Brumbung, jalan utama itu bercabang ke selatan semua. Tidak ada yang ke utara. Jalan yang bercabang ke selatan itu menghubungkan Desa Combongan (nama desa yang terdengar aneh). Dulu saya sering melewati jalan itu ketika mengantar atau menjemput ibu saya berjualan di Pasar Combongan. Dulu jalannya masih berupa jalan tanah berbatu, belum beraspal seperti saat ini. Di kana kiri jalan itu apalagi kalau bukan hamparan sawah.
Dahulu, hamparan sawah itu merupakan pemandangan biasa saja bagi saya. Namun kini, seiring dengan semakin banyaknya lahan sawah yang dikonversi menjadi permukiman, pemandangan itu menjadi sangat luar biasa, tampak sekali keindahannya. Sisa-sisa keindahan masa lalu itu masih ada.
Setelah melewati Desa Brumbung, sekira 500-an meter ke barat, kita akan menemui Pasar Cuplik. Secara administrasi, pasar ini masuk Kelurahan Bulakan. Tampaknya pasar ini berkembang sangat cepat. Kalau dulu, pasar ini hanya terdiri atas beberap los (kios) tradisional dan lapak-lapak kayu, kini sudah banyak toko bahkan ada sebuah minimarket. Dekat area pasar ini juga berdiri pusat kebugaran berupa fitness center. Sebelah barat pasar ini terdapat jalan ke utara yang cukup ramai. Maklum, jalan ini terhubung dengan jalan utama yang menuju kea rah Kota Solo.
Dari Pasar Cuplik ke barat sekira setengah kilometer, sampailah kita ke tapal batas Kabupaten Sukoharjo. Sungai Bengawan Solo, menjadi batas antara Kabupaten Sukoharjo dan kabupaten Klaten. Di atas sungai itu melintas jembatan yang cukup kekar, Jembatan Serenan. Dulu, waktu saya kecil sampai SMA, jembatan itu belum ada. Orang-orang yang ingin menyeberangi sungai itu harus melewati sesek sempit sehingga mobil tidak dapat lewat. Motor pun kalau mau lewat harus bergantian karena tidak bisa simpangan. Untuk menyeberangi sesek itu, orang harus membayar sejumlah uang tertentu.
Sesek hanya berfungsi pada musim kemarau ketika debit sungai tidak terlalu tinggi. Sesek tidak berlaku pada musim hujan ketika sungai penuh air dan berarus deras. Alih-alih, perahu menjadi andalan untuk melintasi sungai itu. Musim hujan ini merupakan problem tersendiri bagi warga sebealh barat sungai yang ingin ke seberang timur. Pernah teman SMA saya terlambat sekolah gara-gara perahu yang ditumpanginya hanyut sampai kiloan meter ke utara karena arus Bengawan Solo yang deras.


<<Jembatan Serenan dengan rangka bajanya tampak begitu kekar mengangkangi Bengawan Solo yang merupakan tapal batas Sukoharjo-Klaten. Jembatan ini meningkatkan aksesibilitas penduduk dari dua kabupaten itu.



Kini, berkat jembatan rangka baja yang melintasi sungai itu, aksesibilitas semakin tinggi. Penduduk semakin mudah melakukan akses antardaerah. Mobil yang ingin melintasi sungai tidak masalah lagi. Arus lalu lintas semakin ramai. Alhasil, jalan Carikan-Serenan yang dulu sepi, sekarang sangat padat. Daerah sepanjang jalan itu pun berkembang sangat cepat, contohnya kawasan Pasar Cuplik. Banyak developer yang menanamkan investasi di sepanjang jalan ini.
Ya, semuanya telah berubah. Namun, kenangan masa lalu bersama jalan ini terekam indah dalam memori. Agaknya memang benar kata Madonna: “Say goodbye to yesterday it’s the word I’ll never say, masa lalu memang sulit dilupakan.



Rabu, 05 Oktober 2011

Sekuel Perjalanan ke Mukomuko


Di lambung Sriwijaya Air, penerbangan Solo-Jakarta-Bengkulu-Medan.
"Mau ke mana, Pak?" sapaku basa-basi kepada seorang bapak yang duduk di samping saya. Setiap kali saya naik transportasi umum, saya berusaha menyapa lebih dulu orang yang duduk di samping saya. Kebiasaan ini saya lakukan semenjak saya mendengar nasihat, "Jangan berharap orang lain berbuat baik kepada Anda, sebelum Anda mendahuluinya."
"Bengkulu," jawabnya singkat.
"Wah, sama! Saya mau ke Mukomuko. Ada tugas dari kantor," kata saya seramah mungkin.
"Wah, jauh tuh dari Bengkulu. Sekitar 8 jam perjalanan."
"Wauw... sejauh itukah?" Obrolan pun berlanjut hingga saya tahu kalau bapak itu bernama Pak Darmin. Tinggal di Seluma dan seorang pengurus Himpaudi di daerahnya.
<< Sriwijaya Air yang menerbangkan saya dari Solo hingga Bengkulu.





Malam itu, Big Match antara Barca melawan Chelsea akan digelar. Apa boleh buat, demi sebuah tugas, saya harus merelakan diri untuk melewatkan big match  yang ditunggu-tunggu jutaan penonton di seluruh dunia itu. Sebuah pengorbanan yang luar biasa besar sebenarnya, namun pengorbanan itu tertutup oleh bayangan tugas yang mengasyikkan yang sebentar lagi akan saya alami.
Malam mulai merangkak. Jam menunjukkan pukul 00.00 tepat. Kota Bengkulu sudah terlelap tak berdaya ketika Kijang Innova yang membawa kami mengiris malam. Kendaraan yang kami sewa Rp450.000,00 per hari itu menderu memecah khusyuknya malam. Tujuan kami adalah Mukomuko, kabupaten paling utara di Provinsi Bengkulu.

Sebagai daerah yang berada di dataran rendah, Kota Bengkulu terkenal sebagai daerah panasnya minta ampun. Kalau siang hari dan kebetulan langit cerah, Matahari bisa membakar Bengkulu hidup-hidup. Namun, malam itu udara begitu kontras dengan tadi siang, terasa begitu dingin sekali malam ini. Jangan tanya berapa suhunya karena saya (dan dua teman saya) tidak dilengkapi dengan alat pengukur suhu. Yang pasti, tubuh kami dibuat menggigil dan gigi gemeretakan.

Mobil kami terus melaju menembus dinginnya malam. Tanpa terasa, tapal batas Kota Bengkulu sudah kami lalui. Kami mulai memasuki kawasan hemat listrik. Keadaan bukan lagi sekadar sepi. Boleh dibilang, malam itu merupakan malam tersenyap yang pernah saya alami. Kanan kiri kami terbentang luas pemandangan serba hitam. Hanya sesekali saja berjumpa dengan rumah penduduk yang dengan murah hati menyediakan penerangan meskipun tidak lebih dari lampu 5 watt.

“Ini rute teraman dari semua rute yang menuju Mukomuko,” kata Pak Sopir.  “Rute yang lain penuh bahaya, terutama banyaknya perampok yang sering menghadang perjalanan,” lanjutnya.
Lalu ia mulai bercerita tentang hal-hal menyeramkan tentang kisah perjalanannya. Boleh jadi apa yang diceritakan Pak Sopir memang benar, setidaknya begitu yang sering saya dengar tentang jalan lintas Sumatra.

Waktu terus merambat. Jam menunjukkan pukul 02.30 ketika salah seorang rekan mengusulkan mencari warung makan untuk sekadar minum kopi. Memangnya ada warung makan di tempat seperti ini? Begitu tanya dalam hati saya.
“Setelah melewati tempat ini ada warung,” kata Pak Sopir seakan tahu isi hati saya.
Memang benar, tidak lama kemudian kami menjumpai kawasan yang agak terang. Di kanan kiri ada satu dua warung dan sebuah bengkel, tetapi…. sudah tutup.

Hampir saja kami putus asa ketika Pak Sopir berkata, “Kayaknya di depan ada warung yang buka!”
Alhamdulillah, kali ini Pak Sopir benar! Begitu sampai di depan warung, kami segera memarkir mobil lalu turun menuju warung itu. Alamak, penjaga warung itu seorang ibu yang sedang lelap sendirian meninggalkan sepanci air sedang mendidih di atas tungku yang masih menyala.
“Bu, bangun, Bu! Kompornya belum dimatikan!”
Kebetulan sekali, kompor itu menjadi pembenaran bagi kami untuk membangunkan ibu itu…haha. Kan bahaya kalau kompornya meledak!
Agak malas, ibu itu beranjak dari tempat tidur, mematikan kompor.
“Bu, minta kopi tiga, teh satu.”
Ibu itu pun  mulai meracik tiga gelas kopi dan satu gelas teh pesanan kami. Aroma kopi Bengkulu mulai menyebar ketika ibu itu menyeduhnya. Aroma yang begitu menggoda malam itu. Tak lama kemudian, terdengarlah suara srupat sruput ketika kopi dan teh panas memasuki mulut-mulut kami. Rasa hangat segera menjalari tubuh kami. Kepulan asap rokok pun membubung di udara (kami harus menahan rokok waktu di dalam mobil). Wuaahh…. Haha.

Dengan wajah kuyu, kami ngopi-ngopi di warung dalam perjalanan Bengkulu-Mukomuko >>>


Namun, kami tidak bisa berlama-lama di warung itu. Target jam tujuh sampai di tempat tujuan harus terwujud. Kami pun harus melanjutkan perjalanan yang masih panjang.

Waktu terus merangkak. Jam 04.00, tanda-tanda kehidupan mulai tampak. Jentera kegiatan ekonomi sudah berderak. Diwakili oleh deru truk-truk pengangkut kelapa sawit dan batubara (baru saya tahu kalau di Bengkulu ada usaha pertambangan batubara), pagi itu mulai rancak (rancak di sini maksudnya jika dibandingkan malam tadi).

Pukul 05.00. Lebih dari separuh perjalanan sudah kami lalui. Perjalanan sisanya tidak seseram tadi, tapi kami harus segera mencari masjid untuk salat subuh. Masjid pertama yang kami singgahi, terkunci rapat. Di tempat wudu, air tidak mengalir. Lho! Cari masjid lain saja. Masjid kedua pun seperti itu. Cari lagi. Masjid ketiga yang kami temukan, juga tidak ada air, tetapi pintunya terbuka. Kami pun mencari air di rumah penduduk untuk bersuci. Air yang agak keruh pagi itu terasa begitu segar menerpa wajah kami yang kuyu karena tidak bisa memejamkan mata di dalam kendaraan semalam.
Bersambung.