Total Tayangan Halaman

Kamis, 29 September 2011

Banjarbaru: Pesona Wajah Kota Idaman


Tiba-tiba saya merasa sangat jatuh cinta.

Rasa itu muncul ketika saya diminta untuk menulis profil sebuah kota yang ada di Kalimantan Selatan, Banjarbaru. Menulis tentang kota yang belum pernah sekali pun saya kunjungi merupakan tantangan tersendiri bagi saya. Bagaimana mungkin menulis sesuatu yang melihat saja belum pernah? Lalu saya teringat Edgar Rice Burroughs, penulis cerita Tarzan, yang setting-nya di belantara hutan Afrika. Edgar yang belum pernah ke Afrika ternyata bisa mendeskripsikan hutan Afrika secara begitu sempurna, padahal waktu itu belum ada internet seperti sekarang.  Ini menjadi motivasi buat saya. Saya pun mulai berburu informasi.

Ternyata cukup banyak tulisan yang mengulas tentang Kota Banjarbaru di internet. Tulisan itu merupakan acuan berharga bagi saya. Tanpa saya duga, melalui tulisan itu saya mendapat gambaran menarik dari kota yang berslogan IDAMAN ini. Saya mendapat gambaran, kota ini menyimpan keindahan, kenyamanan, kedinamisan, dan layak untuk dikunjungi. Menurut saya, kota ini sangat menjanjikan. Saya mulai jatuh cinta dan ingi sekali ke sana.
Tugu yang terletak di simpang empat Kota Banjarbaru
Idaman, itulah slogan Kota Banjarbaru. Idaman yang tidak lain akronim dari kata Indah, Aman, dan Nyaman, terasa pas benar untuk slogan kota ini. Kota ini memang sangat indah. Kota ini memiliki cukup banyak tempat yang layak untuk dikunjungi. Saya pun mulai menulis, seolah-olah saya pernah ke sana. Haha. Saya mulai dari tempat-tempat menarik yang ada di kota ini.
Pendulangan Intan
Kawasan pendulangan intan tradisional berada di Kecamatan Cempaka sekira 7 kilometer dari Kota Banjarbaru. Di tempat ini pengunjung dapat melihat langsung bagaimana para pendulang  mencari intan atau emas di lubang-lubang penuh lumpur. Para pendulang biasanya berkelompok-kelompok mengali lobang pada kedalam sekitar 10-12 meter dengan menggunakan perkakas tradisional dan metode lama. Mereka bekerja keras mengadu nasib. Bahan galian tersebut selanjutnya dicuci untuk mencari sebutir intan, batu akik, dan pasir emas.
Hutan Pinus
Hutan yang terletak di Kelurahaan Mentaos Banjarbaru ini menawarkan kesejukan dan ketenteraman. Berpadu dengan aroma batang dan bunga pinus, panorama hutan ini sangat menyegarkan. Hutan pinus ini begitu teduh dan bersih. Ketika angin berhembus sepoi-sepoi, kawasan hutan ini memberi sensasi kenyamanan tersendiri.
Taman Chandra Kirana
Tidak jauh dari Bandara Syamsudin Noor terdapat sebuah taman yang asri. Namanya Taman Chandra Kirana, sebuah taman yang menawarkan keasrian pepohonan. Didalam taman terdapat banyak fasilitas bermain seperti kolam renang, water boom, dan jajanan.
Lapangan Dr. Murjani
Inilah tempat kebanggaan warga Banjarbaru. Lapangan ini lumayan besar sehingga mampu menampung banyak orang. Tempat ini sering digunakan sebagai sarana hiburan yang mengundang banyak pengunjung. Selain itu, ditempat ini orang bisa mengakses internet secara gratis karena terdapat hotspot yang dibangun oleh Pemko Banjarbaru. Tak heran banyak orang yang berkunjung ke tempat ini membawa laptop. Lapangan ini dibelah oleh  jalan aspal yang luas. Jalan aspal ini sering digunakan sebagai ajang ketangkasan mengendarai kendaraan bermotor.
Taman Air Mancur
Taman Air Mancur, tempat yang nyaman 
untuk sekedar kongkow-kongkow
Taman yang terletak di pusat kota ini banyak dikunjungi orang. Tempat ini memang sangat cocok untuk tempat bersantai keluarga.  
Mingguraya
Tidak jauh dari Taman Air Mancur, terdapat pusat jajan selera rakyat, namanya Mingguraya. Pusat jajan ini terdiri atas beberapa warung dengan aneka jajanan yang menggugah selera.
Taman Idaman
Taman yang terletak di samping Taman Air Mancur ini merupakan tempat bersantai para pengunjung dengan keluarganya. Taman ini memiliki halaman yang cukup luas, memberikan keleluasaan bagi pengunjung, terutama anak-anak untuk bermain.

Apa yang saya tulis di atas baru sebagian, apa boleh buat, dari yang sedikit itu saya sudah jatuh hati pada kota ini.

Minggu, 25 September 2011

Catatan Perjalanan ke Mukomuko: Eksotika Pesisir Bengkulu


Saya selalu terobsesi untuk mengunjungi kota yang jauh dari ingar bingar pemberitaan, yang kurang menjadi perhatian publik, dan tidak begitu terkenal. Obsesi saya ini barangkali berangkat dari latar belakang saya yang berasal dari kota yang juga tidak begitu terkenal. Kota-kota yang  seperti itu selalu membuat saya penasaran. Seperti apa sih kotanya? Ada apa di sana? Bagaimana keadaan alamnya? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat menarik untuk dijawab.


Obsesi saya itu medapat penyaluran saat kantor menugasi saya untuk pergi ke Mukomuko. Sungguh ini kesempatan yang sangat berharga. Tak boleh dilewatkan.


Secara administrasi, Mukomuko masuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu. Kota ini merupakan kota paling utara dari Provinsi Bengkulu, tepat  di perbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat. Untuk menuju ke sana dibutuhkan waktu hampir 8 jam perjalanan dengan menggunakan mobil. Ini sungguh di luar dugaan saya. Perkiraan saya jarak Bengkulu-Mukomuko  itu seperti Solo-Jogja karena kalau melihat peta, Provinsi Bengkulu itu kecil sekali. Waktu itu saya berangkat dari Bengkulu dengan dua orang teman dan satu sopir. Kami berempat berangkat pukul 00.00 dan tiba di Mukomuko nyaris jam 08.00. Perjalanan dari Bengkulu ke Mukomuko tidak perlu saya ceritakan di sini. Lain kali saja.


Setiba di Mukomuko, kami segera menuju warung makan karena perut udah minta diisi. Namun, makanan di warung makan itu belum siap. Terpakasa kami harus menunggu. Menunggu makanan hingga siap disajikan pagi itu, ada hikmahnya juga ternyata. Saya yang terbiasa bangun tidur kuterus makan, pagi itu terpaksa harus mandi terlebih dahulu. Kebetulan kondisi tubuh waktu itu benar-benar tidak nyaman. Lengket semua. Di rumah pemilik warung itulah kami mandi.


Prosesi membersihkan tubuh berlangsung dengan cepat karena sifatnya darurat. Ini bukan saat yang tepat untuk menikmati kamar mandi. Ketika itu berlaku hukum : lebih cepat lebih baik. Entah karena terlalu cepat itulah, begitu ritual mandi usai, makanan belum juga siap. Padahal perut sudah merengek-rengek minta segera diisi.


Demi meredam gejolak organ tubuh yang terbiasa dimanjakan manusia itu, saya mencoba mencari warung kelontong di sekitar tempat itu dengan harapan memperoleh sesuatu. Alhasil, saya menemukan warung dan kembali ke tempat semula dengan sebungkus roti kering yang kalau digigit remah-remahnya berhamburan. Kreks!  Tidak menjadi soal. Yang penting perut tidak memberontak lagi.  


Setelah penantian panjang itu, beberapa menu siap. Telur dadar ala kadarnya, ikan tongkol, kepala ikan kakap, dan tentu saja nasi sudah siap untuk dinikmati. Tanpa menunggu komando, kami segera mengeduk isi penanak nasi. Seonggok nasi segera berpindah ke piring orang-orang lapar itu. Haha.  Setelah disiram kuah dan ditumpangi lauk, jadilah menu makan istimewa di pagi itu. Pagi yang indah!


Prosesi makan pagi pun usai sudah.


Saatnya bertugas. Bagian ini tidak usah saya ceritakan. Saya khawatir bagian ini akan menambah daftar cedera tulisan ini seutuhnya. Haha. Alasan!


Singkat cerita, tugas selesai. Semua berjalan lancar tetapi uang saku habis terkuras. Terpaksa harus cari si mesin baik hati, ATM, Alat Tapi Mesra. Tidak gampang lho mencari ATM di tempat seperti itu, tetapi kebetulan saya melihatnya ketika tiba di tempat itu tadi pagi. Mungkin itu ATM satu-satunya di Mukomuko. 


Jam menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit. Panas menyengat waktu itu. Kami harus segera pulang ke kota Bengkulu.  Kami segera meluncur dengan harapan sampai di kota Bengkulu sebelum gelap. 


Kota Mukomuko yang boleh dibilang cuma segaris itu pun kami lalui tanpa hambatan. Kendaraan kami mulai menyusuri jalan yang membelah kebun-kebun sawit. Pemandangan yang istimewa bagi saya. Jalanan yang menukik, menanjak, dan meliuk-liuk tajam itu bisa saya nikmati dengan tulus ikhlas, tanpa keluh kesah. Kebetulan sekali waktu itu saya duduk di kursi depan, jadi bisa leluasa mengabadikan pemandangan yang, menurut saya, mengagumkan itu.
 Perkebunan sawit di sisi kanan kiri jalan
Sesekali kendaraan kami harus melalui jalan yang kanan kirinya berupa hutan.  Hijau dan indah. Sekawanan monyet menghadang laju mobil kami. Mereka tampak terpaku di jalan yang membelah hutan itu. Mungkin mereka heran kok ada mobil bagus melewati jalan itu...haha. Namun tidak lama, mereka langsung nyungsep masuk hutan lagi. Saya pun tidak sempat mengabadikannya.  Lagi pula monyet-monyet itu tidak senarsis manusia yang suka sekali kalau difoto.
 Jalan meliuk-liuk membelah hutan
Tidak semua hutan di Bengkulu masih perawan. Sebagian sudah dijamah oleh tangan-tangan manusia hingga hanya tersisa padang semak belukar. Kebetulan saya mengabadikannya.
 Saya yakin, semak belukar ini dahulu hutan perawan yang sangat lebat
Akhirnya sampailah kami pada sebuah jalan yang rusak berat. Jalan itu tinggal separo karena rusak digerogoti abrasi. Jangankan untuk berpapasan dua mobil, untuk satu mobil pun (apalagi truk) harus hati-hati. Dari sisa jalan itulah terkuak betapa buruknya konstruksi jalan di Indonesia.
Mobil kami melalui jalan rusak berat
Namun, ada sesuatu yang membuat saya terpana di sini. Aktivitas laut yang menyebabkan jalan hancur itu, juga mengukir sebuah pantai yang indah sekali. Tidak kalah kalau dibandingkan dengan pantai Normandy di Prancis (saya belum ke sana lho). Pantai yang tebingnya berupa tanah latosol muda itu benar-benar menakjubkan di mata saya. Pemandangan inilah yang memaksa kami  untuk mau tidak mau harus turun dari mobil. Harus!
 Pantai dan tebing yang sangat indah
 Saya dengan latar belakang pantai dan tebing indah
Keindahan pantai ini sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Dengan sedikit dukungan infrastruktur, bukan tidak mungkin pantai ini menjadi aset wisata yang sangat andal di Bengkulu.  Apa hendak dikata, Bengkulu hanya dikenal Pantai Panjang-nya sebagai obyek wisata pesisir. Kalau menurut saya, panorama pantai ini lebih indah dibanding Pantai Panjang (yang tiga tahun lalu saya kira ini pantai satu-satunya di Bengkulu).  Ah malu aku!
Saya lebih malu lagi karena kesimpulan terburu-buru tentang pantai Bengkulu terlanjur saya tulis di  blog saya yang lain tiga tahun lalu. Sungguh pantai ini bikin saya malu saja. Hihihi......

Kamis, 22 September 2011

Bersinar di Klaten

Sudah 10 tahun saya berdomisili di Klaten. Mulanya hanya kos, lalu ngontrak, dan sekarang menempati rumah sendiri (meskipun belum lunas). Ketika masih lajang hingga punya satu anak, saya kos di daerah Cungkrungan. Setlah anak saya berumur satu tahun, saya pindah dan kontrak rumah di bilangan Belangwetan, tepatnya di Perumahan Griya Prima. Setelah dua tahun, dan merasa mampu, saya berani mengambil rumah kreditan di Perumahan Cipta Griya Bersinar Kalikotes. Rumah inilah yang sekarang saya tempati bersama keluarga.

Inilah rumah saya di Cipta Griya Bersinar ketika belum ditempati 
(di kaca jendela itu ada tulisan "TERJUAL")

Kota Klaten menjadi pilihan saya tentu saja karena saya bekerja di sini. Saya cukup bersyukur dapat tinggal di kota ini lantaran kota ini tidak terlalu jauh dari kota tumpah darahku, Sukoharjo. Hanya dengan naik motor santai saja, kota ini dapat dijangkau paling lama 45 menit.
Dibanding Sukoharjo, Kota Klaten agak lebih besar, setidaknya di kota ini ada toserba Matahari, lengkap dengan Timezone-nya. Pusat-pusat keramaiannya pun cukup banyak. Ramainya kota ini boleh jadi karena posisinya yang menghubungkan dua kota besar, yaitu Solo dan Yogyakarta. Imbas dua kota itu terlihat dari pusat-pusat keramaian yang terletak sepanjang jalan utama Solo - Yogyakarta.
Bagi saya, Kota Klaten cukup ideal untuk tempat tinggal. Kota ini tidak terlalu ramai juga tidak terlalu sepi (saya tidak begitu suka dengan keramaian dan takut akan kesepian). Di kota ini masih dapat ditemui tempat-tempat yang sejuk dan masih relatif bersih dari polusi. Kota yang mengusung slogan BERSINAR ini mungkin telah ditakdirkan untuk tempat tinggal saya yang berharap terus 'bersinar' dalam merintis karir dan membangun keluarga.

Sukoharjo, Tempat Lahir Beta

Tidak banyak orang yang mengenalnya. Teringat jelas dalam benakku saat awal-awal kuliah. Ketika itu ada mahasiswa yang bertanya mengenai asalku. Ketika kujawab bahwa saya berasal dari Sukoharjo, raut muka mahasiswa itu memancarkan sejuta tanya. Lalu dari mulutnya meluncur pertanyaan, Sukoharjo itu di mana? 
Pertanyaan itu selalu terlontar setiap saya menyebutkan asalku. Karena malas menjelaskan (plus jengkel), akhirnya kalau ditanya hal yang sama, kujawab dengan cepat, SOLO! Kalau sudah begitu, mereka akan berhenti bertanya. Belakangan saya baru menyadari apa yang saya lakukan itu tidak dapat dibenarkan. Bagaimanapun, Sukoharjo berbeda dengan Solo (sekalipun sebuah kawasan perumahan elit di Sukoharjo diberi nama SOLO BARU). Sukoharjo mempunyai otoritas sendiri yang tidak terikat oleh Solo, meskipun "kota"-nya hanya sepanjang Simpang Lima (Proliman) ke utara sampai Pasar Sukoharjo (tidak lebih dari 500 meter).

 Sisi Kota Sukoharjo (sebelah utara Proliman)

Demikianlah Sukoharjo, sebuah kota yang menyempil dalam peta provinsi Jawa Tengah. Tergencet oleh gemerlap Kota Solo (di bagian utara) dan dinamika Kota Wonogiri (di bagian selatan), menjadikan Kota Sukoharjo semakin termarginal. Barangkali kalau ada selebritis sekelas Dian Sastro atau olahragawan sekelas Chris John, orang baru bisa mengenal kota Sukoharjo. Sayangnya, sampai tulisan ini saya buat belum ada.
Di kota yang serba tidak terkenal inilah saya di lahirkan, tepatnya di kampung Carikan, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, dan tentu saja Kabupaten Sukoharjo pula.

  View Perempatan Carikan (saat ini)
 
Kampung Carikan merupakan batas terluar bagian barat dari Kelurahan Sukoharjo. Di sini orang masih dapat menyaksikan persawahan yang membentang (meskipun sebagian sudah dimanfaatkan untuk permukiman). Teringat ketika masih kecil, persawahan itu merupakan tempat yang representatif  untuk berbagai macam kegiatan (baik siang maupun malam). Kalau siang untuk bermain layangan kalau malam untuk nongkrong (ya, nongkrong karena di persawahan itu tersedia buk-buk tempat duduk) sembari menikmati angin malam dan taburan bintang di langit.
Kegiatan yang paling saya sukai di sekitar persawahan waktu itu adalah tewu, yaitu mencari ikan di kalen (semacam kali tetapi kecil) dengan cara menguras airnya. Ketika air kalen tinggal sedikit, akan tampa ikan menggelepar-gelepar dan kita tinggal menagkapnya. Kotornya badan jangan ditanya, sekujur tubuh bisa penuh dengan lumpur. Kotor tapi asyik.
Kegiatan lain yang mengasyikkan adalah mandi di Kali Ngrukem. Dulu, kali ini cukup lebar, bersih, dan dalam. Sekarang, semua itu tinggal kenangan. Kali itu sekarang hanya menyisakan saluran air yang sempit, dangkal, dan penuh limbah! Sayang sekali.
 
 Jalan menuju jembatan Kali Ngrukem
 
Kembali ke Sukoharjo. Meskipun kota kecil, Sukoharjo sebenarnya kaya akan potensi. Bukan tidak mungkin, potensi tersebut jika dikelola dengan baik akan menjadikan Sukoharjo makmur sebagaimana slogan yang disandangnya, yaitu Sukoharjo Makmur. Potensi dan segala isinya yang ada di Sukoharjo akan saya tulis pada tulisan mendatang. Demikianlah sekilas mengenai kota kelahiran saya.